Assalamu'alaikum Wr.Wb.

selamat bergabung di blog kami, semoga enjoy dan bermanfaat.

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

selamat bergabung di blog kami, semoga enjoy dan bermanfaat.

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

selamat bergabung di blog kami, semoga enjoy dan bermanfaat.

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

selamat bergabung di blog kami, semoga enjoy dan bermanfaat.

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

selamat bergabung di blog kami, semoga enjoy dan bermanfaat.

Showing posts with label Artikel Ilmiah. Show all posts
Showing posts with label Artikel Ilmiah. Show all posts

Saturday, February 6, 2021

PERAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGGI DI ERA SOCIETY 5.0

PENDAHULUAN

            Dinamika perkembangan zaman dan teknologi terus mengalami perubahan. Ini bisa dilihat dari munculnya beberapa istilah yang menggambarkan kemajuan teknologi dan berdampak pada kehidupan sehari hari. Istilah yang beberapa waktu lalu ramai dibicarakan era industry 4.0 dan kemudian saat ini berkembang lagi istilah lain yakni era society 5.0. sebenarnya apa maksud dari istilah istilah tersebut kadangkala kita masih belum memahaminya dan apa perbedaan dari keduanya.

            Konsep  Industry  4.0  dan  Society  5.0 memiliki   perbedaan   dimana   orientasi industry 4.0 terfokus pada pengembangan dan pemanfaatan teknologi untuk keperluan produktifitas dan proses bisnis, Sedangkan Society 5.0 berorientasi pada pengembangan  dan  pemanfaatan teknologi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dimas Setiawan dan  Mei Lenawati, 2020). Seain itu, Soceity 5.0 adalah era dimana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sekedar untuk berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan (Na'im, nov 2020)

            Dampak dari era society 5.0 bisa  berimbas dalam segala sektor kehidupan termasuk pendidikan, dan lebih khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Karena perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan paling tinggi yang mengantarkan mahasiswa dalam memperoleh keilmuan dan mampu mengembangkan keilmuannya di kehidupan masyarakat nantinya. Dan dengan era society 5.0 memaksa perguruan tinggi harus mengantisipasi dan menyesuaikan perkembangan teknologi dan optimalisasi sumber daya manusia, semisal penggunaan internet untuk keperluan perkuliahan, maka bagi perguruan tinggi harus mendesain bagaimana bisa memaksimalkan penggunaan internet namun juga tetap peran sumber daya manusianya tidak diabaikan.

            Dan tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sosok pemimpin di perguruan tinggi dalam mengambil sikap dan perannya dengan perkembangan zaman dan teknologi pada era society 5.0 ini. Hal itu karena sosok pemimpin adalah sebagai pengambil kebijakan, sehingga menjadi penentu dalam memberi ruang gerak kepada semua stakeholders dalam pengembangan pendidikan dengan menjawab tantangan dan peluang di era society 5.0.

            Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengungkap bagaimana peran kepemimpinan perguruan tinggi dalam menyikapi era society 5.0 demi perkembangan perguruan tinggi yang dipimpinnya

PEMBAHASAN

Kepemimpinan perguruan tinggi

Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan fungsi inti dalam proses manajemen. kehadiran sekolah atau lembaga pendidikan dalam melaksanakan apa yang telah direncanakan atau diorganisasi, perlu didukung dengan kemamuan kepemimpinan kepala sekolah atau kepala lembaga pendidikan. Sehingga kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan usaha kerja sama serta memelihara iklim yang kondusif dalam kehidupan organisasi ( Na’im, Agustus 2020)

Yukl (2001) menyatakan bahwa kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peran yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut. Kepemimpinan harus mampu mengantisipasi dan mengikuti  perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi melalui kewenangannya dalam membangun struktur, orang, teknologi, dan mekanisme yang dapat menciptakan suatu budaya baru yang lebih produktif. (Mislan Sihite dan Arifin Saleh, 2019)

Sedangkan perguruan tinggi adalah suatu satuan peyelenggaraan pendidikan tingi. Tujuan pendidikan tinggi adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupan  masyarakat.  Ada  5 dimensi   makna   perguruan   tinggi, yaitu: dimensi keilmuan, dimensi pendidikan, dimensi sosial, dimensi korporasi, dan dimensi etis. Dan berkaitan dengan kepemimpinan perguruan tinggi, menurut Aziz (2016), kepemimpinan perguruan tinggi adalah upaya menggerakkan, mempengaruhi, mendidik, memberikan arahan dan motivasi kepada sekelompok orang atau per individu dalam sebuah perguruan tinggi serta berani mengambil kebijakan dan keputusan secara tepat guna mengembangkan mutu pendidikan pada pergururan tinggi yang dikelolanya (Mislan Sihite dan Arifin Saleh, 2019)

Pimpinan  perguruan  tinggi  mengandung 2 tugas  utama,  yaitu: tugas  sebagai  manajer  dan  tugas sebagai  pemimpin.  Tugas  manajer lebih  dikaitkan  dengan  penguasaan agar suatu perguruan tinggi berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan        perencanaan.  Tugas pemimpin   lebih  dikaitkan   dengan pengarahan perguruan tinggi sesuai dengan   visi   dan   misi  yang   telah ditentukan. (Mislan Sihite dan Arifin Saleh, 2019)

Sehingga dalam hal ini sosok pemimpin perguruan tinggi memiliki posisi strategis dalam pengambil kebijakan-kebijakan perguruan tinggi untuk kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan

Era Society 5.0

Secara history Society 5.0 sendiri merupakan sebuah konsep yang diusulkan oleh keidanren yang merupakan sebuah federasi bisnis jepang. Menurut Dr. Masahide Okamoto (2019) Society 5.0 merupakan representasi bentuk sejarah perkembangan masyarakat ke-5. Dimana secara kronolgis  perkembangannya  dimuai  dari  era dimana masyarakat   memiliki pola untuk melakukan pemburuan (Society 1.0), berlanjut ke era pertanian (society 2.0), industri (Society 3.0), dan informasi (4.0). (Dimas Setiawan1 dan Mei Lenawati, 2020)

Berikut Gambar Illustrasi perkembangan society 4.0


Sedangkan Society 5.0 merupakan sebuah konsep yang dikembangkan demi terbentuknya masyarakat Super smart yang memiliki pola perilaku mengoptimalkan  pemanfaatan  Internet of things, Big Data, dan Artificial Intelligence sebagai  solusi  untuk  kehidupan   masyarakat yang lebih baik (Dimas Setiawan dan Mei Lenawati, 2020)

 

Berikut gambar Ilustrasi implementasi society 5.0



Implementasi dari Society 5.0 di jepang diilustrasikan dengan gambar diatas dengan adanya   beberapa   teknologi   teknologi   drone serta artifical intelligence untuk pengiriman barang, sistem perawatan medis yang terintegrasi, autonomus vehicles yang berfungsi untuk mengkondisikan kendaraan tanpa awak. Adanya robot dan sensor yang yang dimaksimalkan untuk sistem inspeksi dan pemeliharaan infrastruktur (Dimas Setiawan dan Mei Lenawati, 2020)

Dengan demikian era society 5.0 merupakan era yang super canggih dalam membantu kebutuhan dan keperluan manusia dalam kehidupan sehari hari namun tetap memerankan sisi humanisnya, sehingga peran manusia tetap ada dan tidak dihilangkan

Peran kepemimpinan perguruan tinggi di era society 5.0

            Berkaitan dengan peran kepemimpinan perguruan tinggi dalam menyikapi era society 5.0 ini, maka penulis memberikan alternatif atau masukan dengan beberapa bentuk yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin yang sebagiannya penulis ambil dari pendapat Dimas Setiawan dan Mei Lenawati (2020), antara lain:

1.   Menyiapkan fasilitas penunjang

Fasilitas termasuk bagian penting juga dalam menunjang kelancaran kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi. Sehingga dalam hal ini upaya pemimpin perguruan tinggi adalah mengupayakan fasilitas yang mendukung dalam kelancaran kegiatan pembelajaran mahasiswa melalui pemanfaatn kecanggihan teknologi, seperti penyediaan layanan internet dan media-media pembelajaran online

2.      Menyiapkan sumber daya manusia

Sumber daya manusia termasuk kunci dalam keberhasilan pendidikan di perguruan tinggi. Hal itu dikarenakan jika tidak didukung oleh SDM yang unggul, maka kualitas pendidikan di perguruan tinggi akan mengalami penurunan. Sehingga penting kiranya seorang pemimpin menyiapkan SDM yang mumpuni lebih lebih dalam mengikuti perkembangan era society 5.0 ini dan hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti workshop, pelatihan, dan sebagainya

3.      Mendorong peningkatan produktivitas Tri Dharma perguruan tinggi bagi dosen,

Dalam hal ini seorang pemimpin memberikan arahan dan motivasi kepada dosen agar lebih produktif dalam melakukan pembelajaran di kelas dan bisa memanfaatkan teknologi dalam kegiatan pembelajaran, kemudian juga dosen meningkatkan penelitian sehingga menghasilkan temuan-temuan yang dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan lebih lebih terkait kemutakhiran teknologi serta dosen di dorong untuk produktif dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat, sehingga masyarakat mendapat edukasi dan pencerahan dari dosen terkait perkembangan keilmuan maupun teknoogi, sehingga msyarakat tidak tertinggal pengetahuan dan pemahaman akan perkembangan zaman

4.         Menjalin  kerja   sama   baik   antar perguruan  tinggi  baik  tingkat  nasional maupun internasional.

Kerjasama adalah bagian yang penting pula dalam keberlangsung perguruan tinggi, sehingga perguruan tinggi memiliki relasi dan bisa berkolaborasi dalam pengembangan keilmuan perguruan tinggi. Sehingga diperlukan sebuah kerjasama lebih lebih dalam mengikuti perkembangan era society 5.0 ini agar tidak tertinggal jauh dengan perguruan tinggi yang sudah memersiapkan diri dalam menghadapi era society 5.0 ini.

5.         Mengadakan  pelatihan  kompetensi berskala nasional maupun internasional, demi  tercapaianya  profil  lulusan yang diharapkan.

Lulusan menjadi tolak ukur bagi perguruan tinggi dalam pencapaian akademik mahasiswa, sehingga seorang pemimpin bisa mengadakan kegiatan yang mendukung kualitas lulusan, seperti mengadakan pelatihan kompetensi berskala nasional maupun internasional, sehingga ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi mahasiswa untuk mengukur kompetensinya baik level nasional maupun internasional

 

PENUTUP

Kepemimpinan perguruan tinggi adalah upaya menggerakkan, mempengaruhi, mendidik, memberikan arahan dan motivasi kepada sekelompok orang atau per individu dalam sebuah perguruan tinggi serta berani mengambil kebijakan dan keputusan secara tepat guna mengembangkan mutu pendidikan pada pergururan tinggi yang dikelolanya

Sehingga dalam hal ini perguruan tinggi memerlukan seorang pemimpin yang bisa menjadi uswah atau contoh bagi bawahan serta benar benar bijak dalam pengambilan keputusan dalam rangka pengembangan mutu pendidikan.

Berkaitan dengan era society 5.0, maka Soceity 5.0 adalah era dimana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sekedar untuk berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan dan hal ini juga menjadi perhatian lebih bagi seorang pemimpin sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan pendidikan di perguruan tinggi yang dipimpinnya sehingga perguruan tinggi mampu menjawab tantangan dan peluang di era society 5.0.

Peran seorang pemimpin dalam menyikapi era society 5.0 adalah dengan beberapa bentuk, antara lain: 1) Menyiapkan fasilitas penunjang, 2) Menyiapkan sumber daya manusia, 3) Mendorong peningkatan produktivitas Tri Dharma perguruan tinggi bagi dosen, 4) Menjalin  kerja   sama   baik   antar perguruan  tinggi  baik  tingkat  nasional maupun internasional.5) Mengadakan  pelatihan  kompetensi berskala nasional maupun internasional, demi  tercapaianya  profil  lulusan yang diharapkan.

   

Referensi

Setiawan, Dimas dan Mei Lenawati. Peran Dan Strategi Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Era Society 5.0 ( Research : Journal of Computer, Information System, & Technology Management, Vol. 3, No. 1. April 2020)

Sihite, Mislan dan Arifin Saleh. PERAN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PERGURUAN TINGGI: TINJAUAN KONSEPTUAL ( Jurnal Ilmu Manajemen METHONOMIX, Vol. 2, No. 1 Program Studi Manajemen – FE UMI 2019)

Na’im ,Zaedun, ett all. Kapita Selekta: manajemen dan kepemimpinan pendidikan ( Tulungguagung: Akademia Pustaka, Agustus 2020)

Na’im, Zaedun, ett all. Strategi Pembelajaran Era Society 5.0 di Perguruan Tinggi ( Kuningan: Goresan pena, November 2020)

 


URGENSI MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA

 PENDAHULUAN

      Dalam menjalani kehidupan beragama, seseorang butuh yang namanya kenyamanan, dan ketenangan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya tanpa diganggu oleh pemeluk agama lain, sehingga diperlukan suatu penanaman nilai-nilai akan terwujudnya kehidupan antar umat beragama yang baik.

           Oleh karenanya perlu adanya suatu konsep agar kerukunan umat beragama di negeri ini tetap bisa berjalan dengan baik, dalam hal ini melalui konsep moderasi beragama. Dengan moderasi beragama, umat beragama bisa lebih arif dan bijak dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya melalui pengamalan ajaran agama dengan benar dan adanya sikap toleransi antar umat beragama

            Dengan demikian, hal ini menunjukkan pentingnya moderasi beragama di negeri ini demi tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan pentingnya moderasi beragama di Indonesia sebagaimana dibawah ini.

PEMBAHASAN

Konsepsi Moderasi beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa latin “moderatio”, yang berarti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata ini juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat berlebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1) n pengurangan kekerasan, dan 2) n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem ( Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:15)

Dalam Bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:15)

Sedangkan dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang) (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:16). Ketiga ungkapan tersebut memiliki arti yang sangat berdekatan, ketiganya bisa disarikan dan disatukan menjadi wasaá¹­iyyah (moderat). (Al Azhari, 2020:27)

Menurut Afifuddin Muhajir (2017), wasaá¹­iyyah berarti jalan tengah atau keseimbangn antara dua hal yang  berbeda atau bertentangan, seperti  keseimbangan antara ruh dan jasa dunia dan akhirat, ilmu dan amal, dan Seterusnya (Al Azhari, 2020:28)

Adapun lawan moderasi adalah berlebihan, atau tatharruf dalam Bahasa arab, yang mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam Bahasa Inggris. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/jalan yang sebaliknya”. Dalam KKBI, kata ekstrem didefinisikan sebagai “paling ujung, paling tinggi, dan paling keras”.

Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu/sentripetal, sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (sentrifugal. Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah).

Jika dikaitkan dengan agama, maka moderasi beragama dapat dipahami sebagai “cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama” (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:17)

Adapun ciri khas wasaá¹­iyyah (moderasi) bagi agama Islam sendiri dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an, yakni Al-Baqarah ayat 143, yang artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu

Hal ini ditegaskan pula oleh Yusuf Qardhawi, menurut beliau Islam memiliki watak wasathiyah/tawazun (moderat). Watak tersebut sangat melekat dalam ajaran Islam. Yang dimaksud dengan moderat di sini adalah bahwa ajaran Islam merupakan ‘jalan tengah’ di antara dua kutub yang saling berlawanan. Menurut Abu Yazid, dalam tataran yang lebih rinci, bentuk-bentuk keseimbangan dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai prnanata kehidupan beragama, yaitu (Syarkun dan Arifin, 2015: 63)

a.          Keseimbangan dalam iman dan keyakinan (I’tiqad)

b.         Pengamalan ritual keagamaan (ibadah)

c.          Perangai dan budi pekerti (akhlaq karimah)

d.         Pensyariatan ajaran agama (tasyri’)

Istilah ‘al-wasathiyah” dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus yang dimiliki oleh manhaj (jalan/pegangan) Islam dalam pemikiran dan kehidupan, dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya. (Syarkun dan Arisin, 2015: 63)

Ternyata dalam terwujudnya moderasi beragama tidak hanya agama Islam melalui konsep washatiyahnya untuk dijalankan oleh umatnya, namun agama lain pun juga ada ajaran bagi umatnya ke arah terwujudnya moderasi beragama, antara lain ( Sutrisno, 2019: 324-325):

1)   Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang  untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam internal umat beragama.

2)  Dalam Gereja Katolik istilah “moderat” tidak biasa.Yang dipakai adalah “terbuka” terhadap “fundamentalis” dan “tradisionalis” (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik).

3)     Dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau  jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode itu terdiri dari gabungan empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran ajarannya sebagai bentuk moderasi. Dalam ajaran agama Hindu yang  terpenting adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan.

4)      Dalam Agama Budda esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat  dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai pencerahan sempurna.

5)       Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu.  Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu yang berlebihan

Dengan demikian bisa dipahami bahwa moderasi beragama adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan umat beragama, karena dalam kehidupan beragama, umat butuh yang namanya sikap-sikap yang saling menghormati, toleransi dan sebagainya antar umat beragama sehingga ketika terjadi dinamika permasalahan antar umat beragama, maka pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi pemeluknya melalui konsep moderasi beragama bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan tersebut dan tidak berkembang menjadi permusuhan dan perpecahan

 Urgensi moderasi beragama di Indonesia

Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal itu adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama  adalah  sunnatullah  sehingga  keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja ( Ali dalam Fahri dan Zainuri, 2019:96)

Berkenaan kemajemukan/keberagaman tersebut bisa dilihat di Indonesia ini, mengingat Indonesia dengan keragamannya, meliputi suku, budaya, tradisi, bahasa, sampai kepada keragaman agamanya dan hal ini seringkali menimbulkan konflik disebabkan perbedaan tersebut dengan berbagai faktor yang melingkupinya. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah langkah yang progresif dalam menangani isu-isu keragaman yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan kerugian yang besar (Islam, 2020:38).

Tidak kalah besar dampaknya adalah konflik keragaman agama, mengingat konflik yang ditimbulkan akabit konflik agama sangat berbahaya dan   bisa mengakibatkan pertikaian dan perpecahan, apalagi isu isu terkait agama sangat rentan dan memunculkan polemik akibat ulah personal atau kelompok yang tidak bertanggungjawab dan hanya memanfaatkan dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan mereka, sehingga ini kiranya dibutuhkan solusi yang tepat mengatasi hal tersebut dengan cara menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai moderasi beragama. Hal ini perlu mengingat dengan adanya moderasi beragama umat akan menjadi lebih santun dan bijak dalam menyikapi permasalahan isu isu agama yang berkembang dan tidak mudah terpancing isu isu tersebut, sehingga kerukunan umat beragama akan tetap terjaga.

Sehingga dalam hal ini perlu kiranya diperlukan pemahaman tentang apa saja pilar agar bisa terwujudnya suatu moderasi, Menurut Quraish Shihab dalam (Zamimah, 2018) melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni ( Fahri dan Zainuri, 2019:97):

1)   Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama,beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adil juga berarti moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”

2)  Kedua, pilar keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu  kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam penafsiran Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya  keseimbangan tak dapat terwujud keadilan

3)     Ketiga, pilar toleransi. Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan

Dari pilar-pilar moderasi diatas, ada salah satu pilar yang mungkin sudah familiar, yakni pilar toleransi, karena selama ini sudah sering didengar dari arahan atau himbauan tokoh agama, ataupun pemerintah untuk mengedepankan sikap toleransi antar umat beragama. Dan itu tujuannya adalah terwujudnya moderasi beragama. Sehingga hal ini sangat penting sekali untuk terus dilakukan oleh antar umat beragama.

Toleransi sebagai indikator moderasi beragama ingin melihat sejauh mana seseorang yang beragama bisa menerima orang lain yang berbeda faham dan keyakinan dalam beragama, sekaligus tidak mengganggu orang lain yang berbeda tersebut untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga menyampaikan pendapatnya ( Junaedi, 2019: 396)

Konsep moderasi beragama menjadi sangat penting karena sikap tersebut akan mendorong kepada sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan terhadap praktik keagamaan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama tersebut akan menghindarkan seseorang dari sikap ekstrem yang berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama adalah solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra­konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi serta di sisi lain liberal atau ekstrem kiri (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:18)

Menurut Ghufron, (2016) konflik sosial berkedok agama sering terjadi. Misalnya saja, pada 17 Juli 2015, kasus kekerasan pecah di Tolikara, Papua, dimana satu masjid dibakar oleh kelompok yang tergabung dalam pemuda Gereja Injil di Indonesia atau GIDI. Tiga bulan setelahnya, di tahun 2015 juga, konflik semacamnya terjadi di Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dua gereja dihancurkan dan dibakar oleh sekelompok muslim. Pemicu utama dari kedua kasus itu karena sama-sama mengklaim bahwa menurut geografis keberadaan wilayahnya harus dikuasai oleh arus utama pemeluk agama yang paling dominan, dan membatasi ruang gerak umat agama lain dalam menjalankan aktivitas peribadatannya ( Islam, 2020: 40)

Kedua peristiwa tersebut hanya sebagian contoh dari banyaknya peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari isu pluralitas agama yang terjadi di Indonesia, dimana hal tersebut merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama yang lain dengan berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Isu-isu tersebut sangat rentan terjadi ketika faktor pemicunya muncul kembali ke permukaan, maka dari itu solusi terkait permasalahan tersebut harus selalu diupayakan bersama agar seluruh agama dapat menjalankan ajaran agamanya secara khusuk dalam artian tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok keagamaan lainnya. ( Islam, 2020: 40)

Sehingga dalam hal ini wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak-porandakan sebuah keharmonisa (Junaedi, 2019:394)

Dengan demikian moderasi beragama di Indonesia sangatlah penting untuk terus diupayakan dan dikembangkan agar antar umat beragama bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa adanya perselisihan-perselisihan lebih-lebih kearah tindakan anarkis, dan itu bisa teratasi jika umat beragama bisa mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan benar dan adanya sikap saling menghormati dan toleransi antar umat beragama.

 

PENUTUP

Moderasi beragama bagi Indonesia adalah suatu keharusan dan sangat diperlukan, mengingat di negeri ini beraneka ragam agama, sehingga adanya moderasi beragama bisa terus terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dan melalui moderasi beragama, umat akan hidup berdampingan dengan baik tanpa adanya gangguan dalam aktivitas menjalankan tuntunan ajaran agama yang dianutnya

Hal ini menjadi sangat penting agar kerukunan antar umat bergama tetap terjaga dengan baik dan menjadikan umat beragama lebih arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan-permasalahan antar umat Bergama.

Daftar Pustaka

Al Azhari, M. Luthfi Afif. Moderasi Islam dalam Dimensi Berbangsa, Bernegara Dan Beragama Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah (Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol.10 No.1 2020, https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual/index)

Fahri, Mohamad dan Ahmad Zainuri. Moderasi Beragama di Indonesia. (Intizar, Vol. 25 No. 2, 2019, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar)

Islam, Khalil Nurul. Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an (KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan. Vol 13No. 1. 2020. http://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/kuriositas)

Junaedi, Edi. INILAH MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF KEMENTERIAN AGAMA. (Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2, 2019)

Kementerian Agama RI. Moderasi beragama. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019)

Sutrisno, Edy. Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan ( Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1, 2019)

Syarkhun, Mukhlas dan Moh. Arifin. Jembatan Islam-Barat. ( Jogjakarta: PS, 2015)


Monday, December 10, 2018

DESENTRALISASI PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

1.    Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia
2.                                          Alasan yang mendasari perlunya desentralisasi, antara lain:
a.    Mendorong terwujudnya partisipasi dari bawah secara lebih luas
b.    Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi
c.    Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang, sehingga dapat meningkatkan efesiensi
d.   Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal
e.    Mengakomodasi kepentingan politik
f.     Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif

3.    Desentralisasi pendidikan artinya terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan
4.    Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaaan pendidikan merupakan upaya pemberdayaan pendidikan Islam dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh


Dengan berubahnya pola penyelenggaraan pendididikan dari model sentralistik ke desentralistik membawa angin perubahan bagi penyelenggaraan pendidikan Islam untuk lebih mengembangkan potensi daerah yang bisa dikembangkan melalui pembelajaran kepada peserta didik namun tentunya juga ada beberapa hal yang masih perlu untuk di dicarikan jalan keluarnya, seperti sarana prsarana sekolah yang masih belum menunjang, Sumber daya manusia yang belum merata, tenaga pendidik yang perlu di tingkatkan kualitasnya, dan lain sebagainya

Saturday, December 8, 2018

KONSEP DASAR DAN TATA KELOLA MANAJEMEN PESERTA DIDIK DI SEKOLAH

1.    Manajemen peserta didik adalah usaha pengaturan yang berkenaan dengan peserta didik, baik ketika awal masuk sekolah sampai dengan lulusnya peserta didik.
2.    Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan.
3.    Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur
4.    Fungsi manajemen peserta didik secara umum adalah: sebagai wahana bagi peserta didik untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin, baik yang berkenaan dengan segi-segi individualitasnya, segi sosialnya, segi aspirasinya, segi kebutuhannya dan segi-segi potensi peserta didik lainnya
5.    Ruang lingkup manajemen pendidikan peserta didik, antara lain:
         a.    Perencanaan Peserta Didik
         b.    Penerimaan Peserta Didik Baru
         c.     Orientasi Peserta Didik
         d.    Mengatur Kehadiran dan Ketidakhadiran Peserta Didik 
         e.    Pengelompokan Peserta Didik
         f.     Mengatur Evaluasi Hasil Belajar Peserta Didik
         g.    Mengatur Kenaikan Tingkat Peserta Didik
         h.    Mengatur Peserta Didik yang Mutasi dan Drop Out
         i.      Kode Etik, Pengadilan, Hukuman dan Disiplin Peserta Didik
                         6.    Insrumen tata laksana manajemen peserta didik, antara lain:
                     a.    Buku induk
                     b.    Buku kleper
                     c.    Daftar presensi 
                     d.    Daftar mutasi peserta didik
                     e.     Daftar catatan pribadi peserta didik
                     f.     Daftar nilai
                     g.    Lengger
                     h.    Buku rapor