Saturday, February 6, 2021

URGENSI MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA

 PENDAHULUAN

      Dalam menjalani kehidupan beragama, seseorang butuh yang namanya kenyamanan, dan ketenangan dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya tanpa diganggu oleh pemeluk agama lain, sehingga diperlukan suatu penanaman nilai-nilai akan terwujudnya kehidupan antar umat beragama yang baik.

           Oleh karenanya perlu adanya suatu konsep agar kerukunan umat beragama di negeri ini tetap bisa berjalan dengan baik, dalam hal ini melalui konsep moderasi beragama. Dengan moderasi beragama, umat beragama bisa lebih arif dan bijak dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya melalui pengamalan ajaran agama dengan benar dan adanya sikap toleransi antar umat beragama

            Dengan demikian, hal ini menunjukkan pentingnya moderasi beragama di negeri ini demi tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan pentingnya moderasi beragama di Indonesia sebagaimana dibawah ini.

PEMBAHASAN

Konsepsi Moderasi beragama

Kata moderasi berasal dari Bahasa latin “moderatio”, yang berarti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata ini juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat berlebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1) n pengurangan kekerasan, dan 2) n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem ( Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:15)

Dalam Bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:15)

Sedangkan dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang) (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:16). Ketiga ungkapan tersebut memiliki arti yang sangat berdekatan, ketiganya bisa disarikan dan disatukan menjadi wasaṭiyyah (moderat). (Al Azhari, 2020:27)

Menurut Afifuddin Muhajir (2017), wasaṭiyyah berarti jalan tengah atau keseimbangn antara dua hal yang  berbeda atau bertentangan, seperti  keseimbangan antara ruh dan jasa dunia dan akhirat, ilmu dan amal, dan Seterusnya (Al Azhari, 2020:28)

Adapun lawan moderasi adalah berlebihan, atau tatharruf dalam Bahasa arab, yang mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam Bahasa Inggris. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/jalan yang sebaliknya”. Dalam KKBI, kata ekstrem didefinisikan sebagai “paling ujung, paling tinggi, dan paling keras”.

Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu/sentripetal, sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (sentrifugal. Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah).

Jika dikaitkan dengan agama, maka moderasi beragama dapat dipahami sebagai “cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama” (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:17)

Adapun ciri khas wasaṭiyyah (moderasi) bagi agama Islam sendiri dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an, yakni Al-Baqarah ayat 143, yang artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu

Hal ini ditegaskan pula oleh Yusuf Qardhawi, menurut beliau Islam memiliki watak wasathiyah/tawazun (moderat). Watak tersebut sangat melekat dalam ajaran Islam. Yang dimaksud dengan moderat di sini adalah bahwa ajaran Islam merupakan ‘jalan tengah’ di antara dua kutub yang saling berlawanan. Menurut Abu Yazid, dalam tataran yang lebih rinci, bentuk-bentuk keseimbangan dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai prnanata kehidupan beragama, yaitu (Syarkun dan Arifin, 2015: 63)

a.          Keseimbangan dalam iman dan keyakinan (I’tiqad)

b.         Pengamalan ritual keagamaan (ibadah)

c.          Perangai dan budi pekerti (akhlaq karimah)

d.         Pensyariatan ajaran agama (tasyri’)

Istilah ‘al-wasathiyah” dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus yang dimiliki oleh manhaj (jalan/pegangan) Islam dalam pemikiran dan kehidupan, dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya. (Syarkun dan Arisin, 2015: 63)

Ternyata dalam terwujudnya moderasi beragama tidak hanya agama Islam melalui konsep washatiyahnya untuk dijalankan oleh umatnya, namun agama lain pun juga ada ajaran bagi umatnya ke arah terwujudnya moderasi beragama, antara lain ( Sutrisno, 2019: 324-325):

1)   Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang  untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam internal umat beragama.

2)  Dalam Gereja Katolik istilah “moderat” tidak biasa.Yang dipakai adalah “terbuka” terhadap “fundamentalis” dan “tradisionalis” (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik).

3)     Dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau  jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode itu terdiri dari gabungan empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran ajarannya sebagai bentuk moderasi. Dalam ajaran agama Hindu yang  terpenting adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan.

4)      Dalam Agama Budda esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat  dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai pencerahan sempurna.

5)       Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu.  Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu yang berlebihan

Dengan demikian bisa dipahami bahwa moderasi beragama adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan umat beragama, karena dalam kehidupan beragama, umat butuh yang namanya sikap-sikap yang saling menghormati, toleransi dan sebagainya antar umat beragama sehingga ketika terjadi dinamika permasalahan antar umat beragama, maka pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi pemeluknya melalui konsep moderasi beragama bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan tersebut dan tidak berkembang menjadi permusuhan dan perpecahan

 Urgensi moderasi beragama di Indonesia

Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal itu adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama  adalah  sunnatullah  sehingga  keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja ( Ali dalam Fahri dan Zainuri, 2019:96)

Berkenaan kemajemukan/keberagaman tersebut bisa dilihat di Indonesia ini, mengingat Indonesia dengan keragamannya, meliputi suku, budaya, tradisi, bahasa, sampai kepada keragaman agamanya dan hal ini seringkali menimbulkan konflik disebabkan perbedaan tersebut dengan berbagai faktor yang melingkupinya. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah langkah yang progresif dalam menangani isu-isu keragaman yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan kerugian yang besar (Islam, 2020:38).

Tidak kalah besar dampaknya adalah konflik keragaman agama, mengingat konflik yang ditimbulkan akabit konflik agama sangat berbahaya dan   bisa mengakibatkan pertikaian dan perpecahan, apalagi isu isu terkait agama sangat rentan dan memunculkan polemik akibat ulah personal atau kelompok yang tidak bertanggungjawab dan hanya memanfaatkan dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan mereka, sehingga ini kiranya dibutuhkan solusi yang tepat mengatasi hal tersebut dengan cara menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai moderasi beragama. Hal ini perlu mengingat dengan adanya moderasi beragama umat akan menjadi lebih santun dan bijak dalam menyikapi permasalahan isu isu agama yang berkembang dan tidak mudah terpancing isu isu tersebut, sehingga kerukunan umat beragama akan tetap terjaga.

Sehingga dalam hal ini perlu kiranya diperlukan pemahaman tentang apa saja pilar agar bisa terwujudnya suatu moderasi, Menurut Quraish Shihab dalam (Zamimah, 2018) melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni ( Fahri dan Zainuri, 2019:97):

1)   Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama,beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adil juga berarti moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”

2)  Kedua, pilar keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu  kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam penafsiran Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya  keseimbangan tak dapat terwujud keadilan

3)     Ketiga, pilar toleransi. Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan

Dari pilar-pilar moderasi diatas, ada salah satu pilar yang mungkin sudah familiar, yakni pilar toleransi, karena selama ini sudah sering didengar dari arahan atau himbauan tokoh agama, ataupun pemerintah untuk mengedepankan sikap toleransi antar umat beragama. Dan itu tujuannya adalah terwujudnya moderasi beragama. Sehingga hal ini sangat penting sekali untuk terus dilakukan oleh antar umat beragama.

Toleransi sebagai indikator moderasi beragama ingin melihat sejauh mana seseorang yang beragama bisa menerima orang lain yang berbeda faham dan keyakinan dalam beragama, sekaligus tidak mengganggu orang lain yang berbeda tersebut untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga menyampaikan pendapatnya ( Junaedi, 2019: 396)

Konsep moderasi beragama menjadi sangat penting karena sikap tersebut akan mendorong kepada sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan terhadap praktik keagamaan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama tersebut akan menghindarkan seseorang dari sikap ekstrem yang berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama adalah solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra­konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi serta di sisi lain liberal atau ekstrem kiri (Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:18)

Menurut Ghufron, (2016) konflik sosial berkedok agama sering terjadi. Misalnya saja, pada 17 Juli 2015, kasus kekerasan pecah di Tolikara, Papua, dimana satu masjid dibakar oleh kelompok yang tergabung dalam pemuda Gereja Injil di Indonesia atau GIDI. Tiga bulan setelahnya, di tahun 2015 juga, konflik semacamnya terjadi di Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dua gereja dihancurkan dan dibakar oleh sekelompok muslim. Pemicu utama dari kedua kasus itu karena sama-sama mengklaim bahwa menurut geografis keberadaan wilayahnya harus dikuasai oleh arus utama pemeluk agama yang paling dominan, dan membatasi ruang gerak umat agama lain dalam menjalankan aktivitas peribadatannya ( Islam, 2020: 40)

Kedua peristiwa tersebut hanya sebagian contoh dari banyaknya peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari isu pluralitas agama yang terjadi di Indonesia, dimana hal tersebut merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama yang lain dengan berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Isu-isu tersebut sangat rentan terjadi ketika faktor pemicunya muncul kembali ke permukaan, maka dari itu solusi terkait permasalahan tersebut harus selalu diupayakan bersama agar seluruh agama dapat menjalankan ajaran agamanya secara khusuk dalam artian tanpa ada gangguan dari pihak atau kelompok keagamaan lainnya. ( Islam, 2020: 40)

Sehingga dalam hal ini wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak-porandakan sebuah keharmonisa (Junaedi, 2019:394)

Dengan demikian moderasi beragama di Indonesia sangatlah penting untuk terus diupayakan dan dikembangkan agar antar umat beragama bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa adanya perselisihan-perselisihan lebih-lebih kearah tindakan anarkis, dan itu bisa teratasi jika umat beragama bisa mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan benar dan adanya sikap saling menghormati dan toleransi antar umat beragama.

 

PENUTUP

Moderasi beragama bagi Indonesia adalah suatu keharusan dan sangat diperlukan, mengingat di negeri ini beraneka ragam agama, sehingga adanya moderasi beragama bisa terus terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dan melalui moderasi beragama, umat akan hidup berdampingan dengan baik tanpa adanya gangguan dalam aktivitas menjalankan tuntunan ajaran agama yang dianutnya

Hal ini menjadi sangat penting agar kerukunan antar umat bergama tetap terjaga dengan baik dan menjadikan umat beragama lebih arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan-permasalahan antar umat Bergama.

Daftar Pustaka

Al Azhari, M. Luthfi Afif. Moderasi Islam dalam Dimensi Berbangsa, Bernegara Dan Beragama Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah (Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol.10 No.1 2020, https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual/index)

Fahri, Mohamad dan Ahmad Zainuri. Moderasi Beragama di Indonesia. (Intizar, Vol. 25 No. 2, 2019, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar)

Islam, Khalil Nurul. Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an (KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan. Vol 13No. 1. 2020. http://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/kuriositas)

Junaedi, Edi. INILAH MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF KEMENTERIAN AGAMA. (Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 18 No. 2, 2019)

Kementerian Agama RI. Moderasi beragama. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019)

Sutrisno, Edy. Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan ( Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1, 2019)

Syarkhun, Mukhlas dan Moh. Arifin. Jembatan Islam-Barat. ( Jogjakarta: PS, 2015)


0 comments:

Post a Comment