PENDAHULUAN
Dalam menjalani
kehidupan beragama, seseorang butuh yang namanya kenyamanan, dan ketenangan
dalam menjalankan ajaran agama yang dianutnya tanpa diganggu oleh pemeluk agama
lain, sehingga diperlukan suatu penanaman nilai-nilai akan terwujudnya
kehidupan antar umat beragama yang baik.
Oleh karenanya perlu adanya suatu
konsep agar kerukunan umat beragama di negeri ini tetap bisa berjalan dengan
baik, dalam hal ini melalui konsep moderasi beragama. Dengan moderasi beragama,
umat beragama bisa lebih arif dan bijak dalam menjalankan ajaran agama yang
dianutnya melalui pengamalan ajaran agama dengan benar dan adanya sikap
toleransi antar umat beragama
Dengan demikian, hal ini menunjukkan
pentingnya moderasi beragama di negeri ini demi tetap menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa ini. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan pentingnya moderasi
beragama di Indonesia sebagaimana dibawah ini.
PEMBAHASAN
Konsepsi Moderasi
beragama
Kata
moderasi berasal dari Bahasa latin “moderatio”, yang berarti ke-sedang-an
(tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata ini juga berarti penguasaan diri
(dari sikap sangat berlebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KKBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1) n pengurangan
kekerasan, dan 2) n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu
bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar,
biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem ( Kemenag RI. Moderasi beragama, 2019:15)
Dalam
Bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average
(rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned
(tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam
hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai
individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara (Kemenag RI.
Moderasi beragama, 2019:15)
Sedangkan
dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah,
yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal
(adil), dan tawazun (berimbang) (Kemenag RI. Moderasi
beragama, 2019:16). Ketiga ungkapan tersebut memiliki arti yang sangat
berdekatan, ketiganya bisa disarikan dan disatukan menjadi wasaṭiyyah
(moderat). (Al Azhari, 2020:27)
Menurut
Afifuddin Muhajir (2017), wasaṭiyyah berarti jalan tengah atau
keseimbangn antara dua hal yang berbeda
atau bertentangan, seperti keseimbangan
antara ruh dan jasa dunia dan akhirat, ilmu dan amal, dan Seterusnya (Al
Azhari, 2020:28)
Adapun
lawan moderasi adalah berlebihan, atau tatharruf dalam Bahasa arab, yang
mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam Bahasa
Inggris. Kata extreme juga bisa berarti “berbuat keterlaluan, pergi dari
ujung ke ujung, berbalik memutar, mengambil tindakan/jalan yang sebaliknya”.
Dalam KKBI, kata ekstrem didefinisikan sebagai “paling ujung, paling tinggi,
dan paling keras”.
Kalau
dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung
menuju pusat atau sumbu/sentripetal, sedangkan ekstremisme adalah gerak sebaliknya
menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (sentrifugal.
Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar
secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah).
Jika
dikaitkan dengan agama, maka moderasi beragama dapat dipahami sebagai “cara
pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu
bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama” (Kemenag RI. Moderasi
beragama, 2019:17)
Adapun
ciri khas wasaṭiyyah (moderasi) bagi agama Islam sendiri dinyatakan oleh Allah
dalam al-Qur’an, yakni Al-Baqarah ayat 143, yang artinya: Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu
Hal
ini ditegaskan pula oleh Yusuf Qardhawi, menurut beliau Islam memiliki watak wasathiyah/tawazun
(moderat). Watak tersebut sangat melekat dalam ajaran Islam. Yang dimaksud
dengan moderat di sini adalah bahwa ajaran Islam merupakan ‘jalan tengah’ di
antara dua kutub yang saling berlawanan. Menurut Abu Yazid, dalam tataran yang
lebih rinci, bentuk-bentuk keseimbangan dalam Islam dapat diklasifikasikan ke
dalam berbagai prnanata kehidupan beragama, yaitu (Syarkun dan Arifin, 2015:
63)
a.
Keseimbangan dalam
iman dan keyakinan (I’tiqad)
b.
Pengamalan ritual
keagamaan (ibadah)
c.
Perangai dan budi
pekerti (akhlaq karimah)
d.
Pensyariatan
ajaran agama (tasyri’)
Istilah
‘al-wasathiyah” dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan
jatidiri yang khusus yang dimiliki oleh manhaj (jalan/pegangan) Islam
dalam pemikiran dan kehidupan, dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya.
(Syarkun
dan Arisin, 2015: 63)
Ternyata
dalam terwujudnya moderasi beragama tidak hanya agama Islam melalui konsep
washatiyahnya untuk dijalankan oleh umatnya, namun agama lain pun juga ada ajaran
bagi umatnya ke arah terwujudnya moderasi beragama, antara lain ( Sutrisno,
2019: 324-325):
1) Dalam tradisi
Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi ekstremitas tafsir ajaran
Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Salah satu kiat untuk memperkuat
moderasi beragama adalah melakukan interaksi semaksimal mungkin antara agama
yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain
dalam internal umat beragama.
2) Dalam Gereja
Katolik istilah “moderat” tidak biasa.Yang dipakai adalah “terbuka” terhadap
“fundamentalis” dan “tradisionalis” (yang menolak pembaruan dalam pengertian
Gereja Katolik).
3) Dalam tradisi
Hindu, akar ruh moderasi beragama, atau
jalan tengah, dapat ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode
itu terdiri dari gabungan empat Yuga yang dimulai dari Satya Yuga,
Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap Yuga
umat Hindu mengadaptasikan ajaran ajarannya sebagai bentuk moderasi. Dalam
ajaran agama Hindu yang terpenting
adalah susila, yaitu bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antara sesama
manusia, yang menjadi salah satu dari tiga penyebab kesejahteraan.
4) Dalam Agama Budda
esensi ajaran moderasi beragama dapat dilihat
dari Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia
mengikrarkan empat prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak
semua keinginan nafsu keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan
Dharma, serta berusaha mencapai pencerahan sempurna.
5) Moderasi beragama
juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu.
Umat Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan
ini dalam kaca mata yin yang, karena yin yang adalah filosofi,
pemikiran dan spiritualitas seorang umat Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin
yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap ekstrem. Sesuatu yang kurang sama
buruknya dengan suatu yang berlebihan
Dengan
demikian bisa dipahami bahwa moderasi beragama adalah bagian yang tidak
terlepaskan dari kehidupan umat beragama, karena dalam kehidupan beragama, umat
butuh yang namanya sikap-sikap yang saling menghormati, toleransi dan
sebagainya antar umat beragama sehingga ketika terjadi dinamika permasalahan antar
umat beragama, maka pengamalan nilai-nilai ajaran agama bagi pemeluknya melalui
konsep moderasi beragama bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan tersebut
dan tidak berkembang menjadi permusuhan dan perpecahan
Heterogenitas
atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Hal
itu adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam
ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka
kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku
bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis,
suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan
berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab
sebagai hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan
wahidah), Allah menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama adalah sunnatullah
sehingga keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja
( Ali dalam Fahri dan Zainuri, 2019:96)
Berkenaan
kemajemukan/keberagaman tersebut bisa dilihat di Indonesia ini, mengingat Indonesia
dengan keragamannya, meliputi suku, budaya, tradisi, bahasa, sampai kepada
keragaman agamanya dan hal ini seringkali menimbulkan konflik disebabkan perbedaan
tersebut dengan berbagai faktor yang melingkupinya. Oleh karenanya, dibutuhkan
sebuah langkah yang progresif dalam menangani isu-isu keragaman yang
sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan kerugian yang besar (Islam,
2020:38).
Tidak
kalah besar dampaknya adalah konflik keragaman agama, mengingat konflik yang
ditimbulkan akabit konflik agama sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan pertikaian dan perpecahan, apalagi isu isu
terkait agama sangat rentan dan memunculkan polemik akibat ulah personal atau kelompok
yang tidak bertanggungjawab dan hanya memanfaatkan dengan mengatasnamakan agama
untuk kepentingan mereka, sehingga ini kiranya dibutuhkan solusi yang tepat mengatasi
hal tersebut dengan cara menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai moderasi
beragama. Hal ini perlu mengingat dengan adanya moderasi beragama umat akan
menjadi lebih santun dan bijak dalam menyikapi permasalahan isu isu agama yang
berkembang dan tidak mudah terpancing isu isu tersebut, sehingga kerukunan umat
beragama akan tetap terjaga.
Sehingga
dalam hal ini perlu kiranya diperlukan pemahaman tentang apa saja pilar agar bisa
terwujudnya suatu moderasi, Menurut Quraish Shihab dalam (Zamimah, 2018) melihat
bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni ( Fahri
dan Zainuri, 2019:97):
1) Pertama,
pilar keadilan, pilar ini sangat utama,beberapa makna keadilan yang dipaparkan
adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Adil juga
berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adil juga berarti
moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”
2) Kedua,
pilar keseimbangan. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam
bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu
terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu
dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam penafsiran
Quraish Shihab, keseimbangan adalah menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah.
Karena tanpa adanya keseimbangan tak
dapat terwujud keadilan
3) Ketiga,
pilar toleransi. Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan
yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus
dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat
dibenarkan
Dari
pilar-pilar moderasi diatas, ada salah satu pilar yang mungkin sudah familiar,
yakni pilar toleransi, karena selama ini sudah sering didengar dari arahan atau
himbauan tokoh agama, ataupun pemerintah untuk mengedepankan sikap toleransi
antar umat beragama. Dan itu tujuannya adalah terwujudnya moderasi beragama.
Sehingga hal ini sangat penting sekali untuk terus dilakukan oleh antar umat
beragama.
Toleransi
sebagai indikator moderasi beragama ingin melihat sejauh mana seseorang yang
beragama bisa menerima orang lain yang berbeda faham dan keyakinan dalam
beragama, sekaligus tidak mengganggu orang lain yang berbeda
tersebut untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinan, juga menyampaikan
pendapatnya ( Junaedi, 2019: 396)
Konsep
moderasi beragama menjadi sangat penting karena sikap tersebut akan mendorong
kepada sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif)
dan penghormatan terhadap praktik keagamaan orang lain yang memiliki keyakinan
berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik
beragama tersebut akan menghindarkan seseorang dari sikap ekstrem yang berlebihan,
fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Moderasi beragama adalah solusi
terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau
ekstrem kanan di satu sisi serta di sisi lain liberal atau ekstrem kiri (Kemenag
RI. Moderasi beragama, 2019:18)
Menurut
Ghufron, (2016) konflik sosial berkedok agama sering terjadi. Misalnya saja,
pada 17 Juli 2015, kasus kekerasan pecah di Tolikara, Papua, dimana satu masjid
dibakar oleh kelompok yang tergabung dalam pemuda Gereja Injil di Indonesia
atau GIDI. Tiga bulan setelahnya, di tahun 2015 juga, konflik semacamnya
terjadi di Kabupaten Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, dua gereja dihancurkan
dan dibakar oleh sekelompok muslim. Pemicu utama dari kedua kasus itu karena
sama-sama mengklaim bahwa menurut geografis keberadaan wilayahnya harus
dikuasai oleh arus utama pemeluk agama yang paling dominan, dan membatasi ruang
gerak umat agama lain dalam menjalankan aktivitas peribadatannya ( Islam, 2020:
40)
Kedua
peristiwa tersebut hanya sebagian contoh dari banyaknya peristiwa yang terjadi
sebagai bagian dari isu pluralitas agama yang terjadi di Indonesia, dimana hal
tersebut merupakan sikap intoleransi terhadap kelompok agama yang lain dengan
berbagai faktor yang melatar-belakanginya. Isu-isu tersebut sangat rentan
terjadi ketika faktor pemicunya muncul kembali ke permukaan, maka dari itu
solusi terkait permasalahan tersebut harus selalu diupayakan bersama agar
seluruh agama dapat menjalankan ajaran agamanya secara khusuk dalam artian tanpa
ada gangguan dari pihak atau kelompok keagamaan lainnya. (
Islam, 2020: 40)
Sehingga
dalam hal ini wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan
seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai
kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan
primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun di sisi
lain, ia bisa menjadi kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal), yang
bisa memporak-porandakan sebuah keharmonisa (Junaedi, 2019:394)
Dengan
demikian moderasi beragama di Indonesia sangatlah penting untuk terus diupayakan
dan dikembangkan agar antar umat beragama bisa hidup berdampingan dengan damai
tanpa adanya perselisihan-perselisihan lebih-lebih kearah tindakan anarkis, dan
itu bisa teratasi jika umat beragama bisa mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya dengan benar dan adanya sikap saling menghormati dan toleransi antar
umat beragama.
PENUTUP
Moderasi
beragama bagi Indonesia adalah suatu keharusan dan sangat diperlukan, mengingat
di negeri ini beraneka ragam agama, sehingga adanya moderasi beragama bisa
terus terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Dan melalui moderasi
beragama, umat akan hidup berdampingan dengan baik tanpa adanya gangguan dalam
aktivitas menjalankan tuntunan ajaran agama yang dianutnya
Hal
ini menjadi sangat penting agar kerukunan antar umat bergama tetap terjaga
dengan baik dan menjadikan umat beragama lebih arif dan bijak dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan antar umat Bergama.
Daftar Pustaka
Al
Azhari, M. Luthfi Afif. Moderasi Islam dalam Dimensi Berbangsa, Bernegara Dan
Beragama Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah (Jurnal Intelektual: Jurnal
Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol.10 No.1 2020, https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual/index)
Fahri, Mohamad dan Ahmad
Zainuri. Moderasi Beragama di Indonesia. (Intizar, Vol. 25 No. 2, 2019, http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar)
Islam,
Khalil Nurul. Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan Revolusi
Mental Perspektif Al-Qur’an (KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan.
Vol 13No. 1. 2020. http://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/kuriositas)
Junaedi, Edi. INILAH
MODERASI BERAGAMA PERSPEKTIF KEMENTERIAN AGAMA. (Jurnal Multikultural &
Multireligius Vol. 18 No. 2, 2019)
Kementerian Agama RI.
Moderasi beragama. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2019)
Sutrisno, Edy. Aktualisasi
Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan ( Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1,
2019)
Syarkhun, Mukhlas dan
Moh. Arifin. Jembatan Islam-Barat. ( Jogjakarta: PS, 2015)
0 comments:
Post a Comment